Dewasa ini masyarakat lebih cenderung mencari makanan yang cepat saji atau instan dengan alasan lebih mudah dan menghemat waktu. Dengan kecenderungan tersebut otomatis produk makanan yang dikonsumsi akan mengandung bahan tambahan. Penggunaan bahan tambahan makanan jenis apa pun, baik untuk pengawet, pemanis, perisa, pewarna, penguat rasa, maupun jenis lainnya mengandung risiko bagi tubuh. Konsumsi bahan-bahan tersebut diperbolehkan dalam jumlah tertentu.
”Konsumen harus cerdas, jangan asal ambil makanan tanpa membaca kandungan bahan makanan yang tertera pada label,” kata Ahli Analisis dan Keamanan Pangan dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Rahmana Erman Kartasasmita, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/10/2010).
Menurut dia, batas atas konsumsi sejumlah bahan tambahan makanan (BTM) di Indonesia jauh lebih ketat dibandingkan Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Namun, itu tak membuat industri di sana langsung menggunakan BTM hingga batas tertinggi karena konsumen di negara-negara itu cenderung menghindari makanan yang mengandung BTM.
Kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Konsumen tak mengecek akibat ketidakmengertian dan tak mempelajari tulisan pada label makanan. Hal ini menuntut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bekerja lebih keras mengawasi dan mengatur penggunaan BTM.
Ahli Kimia Pangan dari Jurusan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, Umar Santoso, menambahkan, BPOM harus memastikan agar semua industri, baik industri besar maupun rumah tangga yang memproduksi makanan olahan, mematuhi batasan penggunaan BTM.
”Kepatuhan pada regulasi keamanan pangan di Indonesia sangat rendah. Padahal, itu sangat vital,” ujarnya.
Kesadaran terhadap pentingnya keamanan pangan harus menjadi perhatian utama industri, konsumen, dan pemerintah karena kecurangan dalam penggunaan BTM bisa berdampak luas. Menurut Umar, tindakan preventif BPOM masih sangat kurang dan mereka dinilai hanya bereaksi saat terjadi kasus.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menyarankan masyarakat untuk mengutamakan konsumsi makanan segar daripada produk instan terus-menerus. ”Kita harus makan aneka ragam makanan yang sehat dan harus makan sayur dan buah,” ujarnya.
Nipagin
Menkes menambahkan, nipagin (methyl parahydroxybenzoat) adalah bahan pengawet makanan yang dipakai di berbagai jenis makanan. Penggunaannya diatur dalam Codex Alimentarius Commission.
Sesuai Codex, jumlah asupan nipagin dalam tubuh per hari (acceptable daily intake) adalah 10 miligram per kilogram berat badan. Jika berat badan seseorang 50 kilogram, maka konsumsi aman nipagin 500 mg per hari.
Jika berat kecap dalam mi instan 4 gram dan kandungan nipaginnya 1 mg, maka 500 mg nipagin itu setara 2 kg kecap. Jumlah kecap sebanyak itu tidak mungkin dikonsumsi seseorang dalam satu hari.
Penggunaan nipagin pada makanan sebenarnya dapat dihilangkan dengan teknologi temperatur ultratinggi. Namun, itu akan membuat nilai ekonomi barang menjadi tinggi. ”Hingga kini belum ada laporan keracunan, apalagi kematian akibat penggunaan nipagin,” ujar Rahmana.
Fungsi nipagin hanya menahan laju pertumbuhan mikroba yang membuat makanan cepat rusak. Penggunaan nipagin berlebih tidak memperpanjang daya tahan makanan jika jumlah mikroba dalam makanan itu telah berlebih sejak awal.
sumber: kompas.com
Nice post! pastinya yg namanya tambahan plus pengawet itu gak bagus dan gak sehat buat tubuh:)
Kalo zat aditif nya dari bahan alami, saya kira aman2 saja sob. Tapi kalo itu dari bahan kimia, lebih baik jangan.
Salam.